Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Nikah di KUA GRATIS, di luar KUA membayar Rp 600.000,-, disetorkan langsung ke Bank Menggunakan Kode Billing PNBP NR, Zona Integritas KUA, tolak Gratifikasi, Korupsi dan Pungli, Laporkan jika terbukti !

Peran Kepenghuluan Di KUA Kecamatan

Kepenghuluan Di KUA Kecamatan - Pencatatan nikah adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.

Dalam penelitian Moh. Irkham (2014) disebutkan Pemenuhan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya sistem pemerintahan. Dia mengutip Sinambela yang mengungkapkan bahwa negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, seringkali tidak sesuai dengan harapan.

Peran Kepenghuluan Di KUA Kecamatan

Dari beberapa kebutuhan yang disebutkan, salah satu kebutuhan yang juga berpengaruh adalah kebutuhan administratif mengenai pernikahan yang telah diatur baik secara agama maupun hukum positif Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia untuk menikah dan berumah tangga adalah awal dari munculnya kebutuhan yang lainnya. Tugas KUA Kecamatan dalam menjalankan tugas kepenghuluan termasuk hal yang penting bagi Kementerian Agama secara umum. Sebagai pelaksana teknis urusan keagamaan di Kecamatan, KUA dituntut berperan seoptimal mungkindengan kemampuan dan fasilitas yang ada untuk memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat khususnya umat Islam. Apalagi tugas dibidang kepenghuluan ini sering mendapat sorotan publik dan lembaga sosial masyarakat (LSM) serta lembaga pengawasan pemerintah, khususnya dalam hal adanya oknum di KUA Kecamatan yang melakukan pungutan liar (pungli) dan gratifikasi dalam melaksanakan urusan nikah.

Dalam realitas sosial keagamaan dan budaya, penerapan hukum nikah tidak bisa dijalankan dengan hukum yang terpisah. Artinya peran yang dijalankan oleh KUA Kecamatan semestinya  perlu memperhatikan sisi-sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Banyak pakar berpendapat bahwa Hukum Adat banyak dipengaruhi oleh Hukum Agama. Dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta dinyatakan bahwa terwujudnya hukum adat dipengaruhi oleh agama. Terdapat banyak teori yang menunjukkan adanya hubungan antara pengaruh agama dengan hukum adat.

Disebutkan dalam teori Hubungan Hukum Adat dengan Agama, ada dikenal dengan teori Reception in Complexu yang dikemukakan oleh Van Den Berg, yang merupakan teori penerimaan secara penuh. Hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat  itu. Surojo wignjodipuro berpendapat tentang teori tersebut. Menurutnya, tegasnya teori tersebut, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan,  maka hal itu dianggapnya sebagai pengecualian dari pada hukum agama yang telah diterima secara keseluruhan. Walau demikian teori ini ada juga yang mengkritisi serta membantahnya, seperti Snouck Hurgronge dan Teer Har.

Menurut Kuncaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem atau ide, perbuatan, hasil perbuatan, yang diakui menjadi miliknya sendiri yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Kebudayaan menyangkut hal yang sangat luas dan kompleks. Budaya dan hukum adat tidak bisa dilepaskan karena mereka sangat erat. Adanya hukum adat yaitu karena adanya kebudayaan. Kebudayaan yang tinggi akan menjunjung adat yang tinggi.

Berlawanan arah dengan teori Reception in Complexu, ada teori Receptie yang diajukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven. Mereka menjelaskan bahwa hukum yang hidup dan berlaku bagi rakyat Indonesia terlepas dari hubungan agama yang dianutnya adalah Hukum Adat. Hukum agama dan hukum adat adalah dua entitas yang berbeda bahkan kadang-kadang saling berhadapan atau beroposisi. Kadang-kadang diantara hukum adat dan hukum agama (Islam) terjadi konflik, kecuali hukum agama (Islam) yang telah meresepsi ke dalam hukum adat seperti hukum waris, hukum perkawinan adat dan hukum keluarga untuk beberapa wilayah di Indonesia.

Faktor-faktor yang melemahkan peran KUA

Arti penting peran KUA menjalankan tugas kepenghuluan menjadi kurang berwibawa dan cenderung melemah tentunya disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya:

  1. Rendahnya pemahaman tugas yang diamanahkan negara oleh oknum petugas pelayanan di KUA Kecamatan, termasuk rendahnya volume kehadiran petugas KUA ditempat tugas, pelayanan yang kaku dan lebih difahami sebagai pengguguran kewajiban karena terlalu takut mengambil resiko subjektif atas pelayanan yang diberikan. Saat sikap seperti ini dimunculkan, maka pengguna hukum (warga) akan memilih jalur yang dianggap memihak atas kepentingannya.
  2. Minimnya kerjasama lintas sektoral dari KUA Kecamatan terhadap pihak-pihak terkait, seperti sosialisasi hukum, sosial budaya dan ekonomi.
  3. Minimnya dialog keummatan secara kelompok maupun personal untuk memahami secara bersama akan hukum agama, hukum negara dan hukum adat.
  4. Rendahnya wawasan budaya daerah dan kearifan lokal yang ada dari pelaksana hukum dan pemakai hukum,
  5. Rentang pelayanan yang relatif jauh secara geografis yang tidak didukung dengan infrastruktur penunjang.

Peran KUA Kecamatan Dalam Menjalankan Tugas Kepenghuluan

Arti penting peran KUA Kecamatan dalam menjalankan tugas kepenghuluan saat berhadapan dengan praktek hukum adat dipandang perlu untuk melakukan revitalisasi dengan strategi berikut:

a. Sinergisitas peran antara KUA Kecamatan dan Pengurus adat

Saling menguatkan peran pihak terkait adalah hal mulia dan akan berimbas kembali kepada yang melakukannya. Disaat dapat membantu peran pihak lainnya maka disaat itu akan berdampak positif pada perbaikan dan pelurusan atas misorientasi dari peran ideal.

b. Optimalisasi dialog dan silaturrahmi antara KUA Kecamatan dan Pengurus adat

Dialog dan silaturrahmi adalah bentuk komunikasi yang sangat efektif, baik melalui forum formal maupun informal. Adakalanya solusi dari masalah yang dihadapi ditemukan dengan dialog ringan silaturrahmi, karena komunikasi yang dibangun telah menyambung dari hati ke hati. Apalagi yang dibicarakan menyangkut tema agama dan adat kebiasaan yang menyentuh langsung rutinitas kehidupan warga.

c. Rekonstruksi paradigma pelayanan yang transparan dan bertanggung jawab (akuntabilitas)

Membangun kembali cara pandang pelayanan publik dengan manajemen terbuka dan bertanggung jawab perlu terus dilakukan di era keterbukaan berbasis informasi teknologi. Terasa ketinggalan jika masih mempertahankan paradigma lama dengan mengambil jarak dalam melayani masyarakat dibidang kepenghuluan. Figur personil di KUA umumnya di klaim sebagai tokoh agama bagi masyarakat pedalaman, karenanya yang terbaik adalah membantu tanpa harus menunggu diminta.

d. Melibatkan KUA dan Tokoh Agama dalam setiap Musyawarah Adat

Musyawarah Adat (Musdat) tingkat Kecamatan dilaksanakan 3 tahun sekali. Dalam forum ini seharusnya melibatkan KUA sebagai refresentasi urusan perkawinan dan tokoh agama lainnya, sehingga dalam merumuskan adat (amandemen) akan mendapatkan pertimbangan-pertimbangan hukum agama dan negara sebagai pengimbang menentukan objektifitas ketetapan hukum adat.

e. Meningkatkan kehadiran ditempat tugas bagi KUA Kecamatan

Pelayanan akan tidak maksimal disaat petugas KUA Kecamatan tidak dapat memberikan jawaban dan harapan untuk kepentingan hukum bagi masyarakat. Suasana batin yang tidak mendapatkan secara layak bimbingan dan pelayanan hukum melahirkan sikap antipati pada lembaga beserta misinya, yang berakibat pada menurunnya tingkat kepercayaan dan memilih jalur yang dianggap berpihak pada kebutuhannya, walau satu sisi tidak diakui legalitasnya.

f. Meningkatkan kerjasama lintas sektoral untuk saling mengisi

Setiap sektor dan bidang tidak bisa berdiri sendiri, karenanya perlu kerjasama secara komprehensif dari bidang-bidang terkait. Dengannya akan ditemukan sisi-sisi kekurangan yang diperbaiki dan kelebihan yang seharusnya dibagi dengan tujuan kerjasama yang sama-sama bekerja.

Ref:

  • Moh Irkham, Pelayanan Pendaftaran Nikah Melalui Model Formulir Pendaftaran sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Nikah Menuju KUA Yang Bersih dan Berwibawa, 2014.
  • Abdul Djamil, Perkawinan dan Keluarga (Majalah Bulanan) No. 111.
  • Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Raja Grafindo Persada, 2006.

Post a Comment for "Peran Kepenghuluan Di KUA Kecamatan"