Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Nikah di KUA GRATIS, di luar KUA membayar Rp 600.000,-, disetorkan langsung ke Bank Menggunakan Kode Billing PNBP NR, Zona Integritas KUA, tolak Gratifikasi, Korupsi dan Pungli, Laporkan jika terbukti !

Gratifikasi dalam Perspektif Islam

Secara etimologis, kata hadiah berasal dari bahasa Arab yang artinya ‘pemberian’. Dalam terminologi fikih, hadiah diartikan sebagai pemberian barang/benda dari seseorang semasa hidupnya kepada orang lain, dari harta yang dimilikinya secara fisik (bukan dimiliki manfaatnya saja), sebagai penghormatan atau untuk memuliakan si penerima, tanpa syarat dan tanpa harapan akan balasan. 

Dengan kata lain, tanpa syarat harus membalas dengan hadiah serupa, tanpa syarat harus mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, bahkan tanpa mengharapkan apapun dari si penerima. Pejabat atau pegawai negeri, ketika ditunjuk untuk mengemban tugas tertentu, ia harus menjalankan tugas dan fungsinya. Ini prinsip hukum Islam. Jika ia menerima hadiah atau pemberian di luar gaji, di mana hadiah tersebut patut diduga berkaitan erat dengan jabatannya, berarti ia telah berkhianat atas tugas dan jabatannya.

Gratifikasi dalam Perspektif Al-Quran dan Al-Hadits serta Hukum Islam

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam berbicara tentang harta benda dan kepemilikan sebagaimana juga Al-Hadis. Al-Qur’an berperan sebagai sumber hukum utama dan pertama dengan Al-Hadis sebagai penjelasnya. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Al-Hadis bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan lainnya. Biasanya Al-Qur’an berbicara tentang sesuatu secara umum yang kemudian diberikan penjelasannya oleh hadis dari Muhammad SAW. Pada periode selanjutnya, para sahabat dan ulama berijtihad dengan menggunakan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai dasarnya. Maka muncullah kesimpulan hukum yang dihasilkan dari ijtihad para sahabat atau ulama, yang disebut dengan hukum Islam.

Gratifikasi dalam Perspektif Islam

Gratifikasi Perspektif Al-Quran

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS Al Anfal: 27)

Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan pebuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengadangadakan terhadap Allah yang tidak kamu ketahui. (QS Al A’raf: 33)

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat dosa), padahal kamu mengetahui. (QS Al Baqarah: 188)

Melalui syariat, Allah SWT. mengakui dorongan kodrati tersebut sambil membekalinya dengan rambu-rambu kuat agar manusia mampu mengendalikan dan membatasi perilaku yang menyimpang. Manusia juga harus mengumpulkan harta dengan cara halal. Dan daripadanya dikeluarkan hak Allah dan manusia lain, serta digunakan untuk hal-hal yang halal.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan sukasama suka di antara kamu.... (QS An-Nisa: 29)

Gratifikasi Perspektif Al-Hadits

Dari Abdullah Ibn Uma, Muhammad SAW bersabda: “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap.” Hadis lain menyatakan bahwa, dari Usamah Ibn Malik, Muhammad SAW bersabda: “Hadiah itu dapat menghilangkan pendengaran, menutup hati dan penglihatan.” Dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hadiah untuk pejabat (penguasa) adalah kecurangan.”

Barang siapa yang kami limpahi tugas atas suatu pekerjaaan, hendaknya ia menyerahkan semua yang ia peroleh, sedikit ataupun banyak. Selanjutnya, imbalan apapun yang (kami) berikan kepadanya atas pekerjaannya itu, silakan ia ambil. Sedangkan segala yang ia dilarang darinya hendaknya ia tidak mengambilnya. (HR Muslim)

Adanya hadiah yang diberikan kepada pejabat sebagai wujud terima kasih atas layanannya dapat dipastikan menjadi biang hilangnya amanah dan keadilan, sebagaimana yang kita rasakan di negeri kita tercinta ini. Karena itu, guna menegakkan keadilan di tengah masyarakat, Islam mengharamkan segala bentuk hadiah yang diberikan kepada pejabat.

Dalam sejarah Islam, praktik pemberian hadiah kepada pejabat/pegawai dalam pengertian ghulul (korupsi), pernah terjadi pada masa Muhammad SAW. Dalam hadis Al-Bukhari dan Muslim dikisahkan, Muhammad SAW mengangkat beberapa pegawai yang ditugaskan untuk menarik dan mendistribusikan zakat. Salah seorang pegawai tersebut bernama Ibnu Al Lutbiyah dari Bani Al Azdi.

Suatu hari, Ibnu Al Lutbiyah menghadap Muhammad SAW sambil membawa harta zakat yang dipungutnya. “Ini (zakat) untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan (para pembayar zakat) untukku,” ucap Ibnu Al Lutbiyah sambil menunjukkan barangnya. Muhammad SAW langsung berdiri dan bersabda: “Seandainya engkau duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibumu sambil menunggu (datangnya hadiah), apakah engkau akan diberi hadiah?” Kemudian seusai salat jemaah, Muhammad SAW naik ke atas mimbar dan kembali mengeluarkan pernyataan terkait Ibnu Al Lutbiyah: “Jika seorang pegawai diserahi tugas (oleh negara), kemudian datang dan berkata, ‘ini untukmu dan ini hadiah untukku’, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibunya, sambil menunggu apakah ia akan diberi hadiah atau tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad SAW ada di tangan-Nya, tidak seorang pegawai menerima sesuatu (hadiah), melainkan ia akan datang di hari kiamat sambil memikul beban hadiah itu di lehernya. Jika (hadiah yang diterima) berupa unta, ia akan bersuara. Jika berupa lembu, ia akan menguak. Dan jika berupa kambing, ia akan mengembik. (Saksikanlah) bukanlah aku (Muhammad SAW) telah menyampaikan (kebenaran).”

Ini merupakan hadis yang sangat populer dalam masalah gratifikasi. Hampir semua ulama pernah meriwayatkan hadis ini. Kesimpulannya, Muhammad SAW melarang keras pegawai untuk menerima hadiah dari pihak manapun. Jika Ibnu Al Lutbiyah bukan pegawai negeri (diumpamakan seperti orang yang duduk-duduk di rumah), tentu dia tidak akan diberi hadiah. Berarti jabatan Ibnu Al Lutbiyahlah yang menjadi penyebab orang lain memberikan hadiah kepadanya. Karena itu, dalam hadis lain Muhammad SAW menegaskan:

Barang siapa diangkat sebagai pegawai dan telah mendapatkan gaji, maka apa yang diambil selain dari gaji itu adalah ghulul. (HR Abu Daud, Al Hakim, Ibnu Huzaimah.)

Namun, ada pula hadiah dalam konteks lain, yang dijelaskan lewat hadis berikut ini: “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya berupa kikil (kaki) kambing.” (HR Al Tirmidzi.)

Dengan jelas, hadis di atas menggambarkan fungsi hadiah dalam syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan untuk mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara dua pihak, pemberi dan penerima hadiah.

Dengan mencermati dalil di atas dan juga yang lainnya, dapat disimpulkan bahwa konsep memberi hadiah dalam syariat Islam benar-benar karena latar belakang sosial, tanpa ada embel-embel komersial sedikit pun. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Muhammad SAW dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah, yang artinya:

Hendaklah kalian saling memberi hadiah agar kalian saling mencintai. (HR Bukhari)

Islam menganjurkan kaum muslimin saling memberikan hadiah satu sama lain, sebagaimana sabda Muhammad SAW sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas. Apalagi jika pemberian tersebut bertujuan untuk menyambung silaturahim atau membalas kebaikan orang lain, maka hukumnya semakin baik dan sangat dianjurkan, sebagaimana hadis Muhammad SAW: “Hadiah kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahim.” Dan hadis riwayat Aisyah: “Nabi Muhammad SAW sering menerima hadiah dan membalasnya.” (HR Al-Bukhari)

Akan tetapi, hadiah akan bisa menjadi haram jika bertujuan melanggar hukum syariat, mempengaruhi putusan pengadilan, mempengaruhi kebijakan publik, dan sebagainya. Berarti, hukum memberikan hadiah berbeda-beda sesuai dengan tujuan pemberinya, seberapa jauh dampak yang ditimbulkan, dan bagaimana prosesnya.

Suatu kali Muhammad SAW bersilaturahim dengan penduduk Bani Al Asyhal, ditemani seorang sahabat bernama Abu Rafi’. Ketika pulang, keduanya tampak tergesa-gesa karena waktu Magrib segera tiba. Di tengah perjalanan, saat melewati pekuburan Baqi’, tiba-tiba Muhammad SAW berseru: “Waduh, celaka! Waduh, celaka!” Abu Rafi’ pun menghentikan langkahnya. “Apa yang terjadi padamu?” tanya Muhammad SAW. “Ayo, jalan!” ajak beliau.

Abu Rafi’ lalu menjelaskan bahwa dirinya berhenti karena mengira dialah yang akan celaka. “Tidak!” jawab Muhammad SAW. “(Tadi) aku melewati kuburan si Fulan. Dia pernah kutunjuk sebagai pemungut zakat di sebuah perkampungan. Di sana dia menerima (hadiah) mantel yang terbuat dari bulu harimau. Sekarang (di dalam kuburnya), dia memakai mantel yang terbuat dari api neraka.”

Dan kondisi kita sekarang ini sebenarnya sudah diprediksi oleh Muhammad SAW lima belas abad yang lalu. Beliau bersabda: “Kelak akan datang suatu masa ketika sejumlah pemerintahan menghalalkan arak dengan ‘bungkus’ bir, menerima pemberian kecil dengan alasan sedekah, membolehkan suap dengan ‘bungkus’ hadiah, dan membunuh dengan alasan memberi peringatan. Mereka memerangi bangsa-bangsa merdeka untuk menguasai, sehingga (akibatnya) dosa mereka semakin bertambah.”

Maka salah satu solusi yang ditawarkan Islam adalah sadd adz-dzari’ah, yakni upaya preventif untuk mencegah timbulnya dampak negatif di kemudian hari. Jika suatu perbuatan diduga akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) di kemudian hari, maka perbuatan tersebut harus dilarang secara total. Kaidah sadd ad-dzari’ah merupakan salah satu prinsip hukum Islam di mana menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mewujudkan kemaslahatan umum (Dar’ul mafasidi muqaddamun ‘ala jalbil mashaaalih).

Status hukum menerima gratifikasi, mengutip An-Nawawi dalam Syarah Muslim adalah haram dan termasuk dosa besar, meskipun nominalnya terbilang kecil. Hal ini sesuai pesan implisit hadis yang mengisahkan seorang hamba sahaya bernama Rifa’ah bin Zaid yang terkena anak panah saat berdiri untuk melepaskan pelana kuda Muhammad SAW. Para sahabat menyebutnya mati syahid, tapi Muhammad SAW menolak: “Tidak! Demi Dzat yang jiwa Muhammad SAW ada di tangan-Nya, sesungguhnya sehelai kain yang diambilnya dari ganimah perang Khaibar akan menyalakan api neraka baginya.”

Gratifikasi Perspektif Hukum Islam

Beberapa ayat dan hadis di atas menggambarkan bahwa Islam menentang pemberian gratifikasi dan penerimaannya atau praktik pemberian hadiah yang terkait dengan jabatan. Sejumlah ulama klasik sampai menulis bab khusus tentang gratifikasi dalam kitab-kitab mereka, contohnya:

Al-Bukhari yang dalam kitab Al-Jami’ Al-Shahih menulis: “Bab Hadiah untuk Pegawai” dan “Bab Orang yang Dilarang Menerima Hadiah karena Sebab Tertentu.

Kemudian Imam Muslim dalam kitab Al-Imarah (Pemerintahan) juga membuat bab khusus, “Bab Hadiah bagi Para Pegawai,” yang oleh Imam Muslim An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dinamakan: “Bab Haramnya Hadiah bagi Pegawai.”

Mengenai hadiah yang diberikan bukan karena faktor jabatan, seperti pejabat/pegawai yang biasa menerima hadiah dari teman atau kerabat sejak sebelum menjadi pejabat/pegawai, atau nilainya tidak meningkat secara signifikan dibandingkan pemberian-pemberian sebelumnya, maka dalam Islam tidak dinamakan ghulul/gratifikasi. Itu bisa termasuk sedekah jika diniati ingin mendapatkan pahala atau termasuk hadiah jika diniati ingin mendapatkan pahala dan memuliakan. Ketentuan yang sama berlaku bagi hakim.

Hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang belum pernah memberikan hadiah kepadanya sebelum menjabat. Ia juga dilarang menerima pemberian yang jumlahnya meningkat daripada pemberian sebelumnya. Ini prinsip umum dalam fiqh jinayah (pidana Islam). Hakim hanya boleh menerima hadiah atau pemberian dari keluarga atau sahabat dekat dimana si keluarga atau sahabat tidak sedang dalam berperkara dan memang sudah terbiasa memberi hadiah sejak sebelum dirinya menjadi hakim.

Persoalannya, upaya nepotisme dan politik dinasti di Indonesia sudah menggurita sehingga sahabat atau keluarga pejabat justru sering memanfaatkan kesempatan memberi hadiah untuk memperoleh kemudahan, baik dalam masalah perizinan, pengurusan akta, pengadaan barang/jasa, dan sebagainya. Alhasil pada saat tender, sahabat atau keluarga yang pernah memberikan gratifikasi otomatis akan memiliki “posisi khusus” di mata si penerimanya dibandingkan peserta tender lainnya. Inilah yang dimaksud oleh Umar bin Abdul Aziz ra: “Hadiah pada zaman Nabi Muhammad SAW adalah hadiah, sedangkan hadiah hari ini (hakikatnya) adalah suap.”

Konsekuensi hukum bagi penerima gratifikasi dalam fiqh jinayah adalah wajib mengembalikan hadiah yang diterima dan/atau menyerahkan kepada negara, atau memilikinya dengan izin pemerintah. Jika salah satunya tidak dilakukan, maka penerima gratifikasi diancam hukuman/sanksi pidana. Ini konsekuensi hukum yang bersifat duniawi.

Pemerintah berhak mengatur bentuk hukuman atau sanksi bagi penerima gratifikasi yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Hal ini sesuai prinsip hukum Islam, bahwa bentuk sanksi yang tidak ditetapkan secara langsung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis (takzir), ketentuannya diserahkan kepada pihak berwenang. Maka KPK mendorong aparatur sipil negara untuk menolak pemberian terkait jabatan. Jika telanjur diterima, maka pemberian itu wajib dilaporkan ke KPK maksimal tiga puluh hari kerja setelah diterima secara pribadi atau diserahkan kepada negara. Selain konsekuensi hukum duniawi, pelaku gratifikasi dalam Islam juga diancam hukuman akhirat jika ia tidak mengembalikan hadiah yang diterimanya. Ini perbedaan paling mendasar antara UU Tindak Pidana Korupsi dengan ketentuan syariat Islam. Namun, meski sanksi yang bersifat ukhrawi tidak tercantum, pelaksanaan sanksi dalam UU Tindak Pidana Korupsi telah memenuhi prinsip takzir dalam syariat Islam, sehingga pelaku gratifikasi yang beragama Islam dapat menghapus dosa-dosanya dengan cara menjalani hukuman yang telah ditetapkan pengadilan. Jika tidak demikian, dosa-dosanya tidak akan terampuni. Hal ini didasarkan pada hadis yang mengisahkan perjalanan Muhammad SAW ke perkampungan Bani Al-Asyhal di atas.

Ref. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI

1 comment for "Gratifikasi dalam Perspektif Islam"

  1. terima kasih untuk artikel yang bermanfaat, generasi Z mendominasi Islam di Indonesia dan Malaysia. Mereka tumbuh di masa pertumbuhan teknologi dan informasi yang cepat, sehingga Generasi Z lebih mudah memahami teknologi dan informasi. Dilakukan penelitian komparatif juga bertujuan untuk mengetahui persamaan, perbedaan, dan kesenjangan persepsi Generasi Z terhadap penggunaan tekfin dalam pembayaran ZIS. Informasi lebih lengkapnya terdapat pada link berikut ini: https://unair.ac.id/persepsi-generasi-z-dalam-membayar-zakat-infaq-dan-sedekah-menggunakan-fintech/

    ReplyDelete