Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Nikah di KUA GRATIS, di luar KUA membayar Rp 600.000,-, disetorkan langsung ke Bank Menggunakan Kode Billing PNBP NR, Zona Integritas KUA, tolak Gratifikasi, Korupsi dan Pungli, Laporkan jika terbukti !

Diskursus Seputar Makna Moderasi Kehidupan Beragama

Diskursus Seputar Makna Moderasi - Arti moderasi dalam bahasa Arab dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem. Kata wasith bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘wasit’ yang memiliki tiga pengertian, yaitu:1) penengah, perantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis); 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan 3) pemimpin di pertandingan. (Tim Penyusun Kemenag, Moderasi Beragama, 2019: 16-17)

Adapun lawan kata moderasi adalah berlebihan (guluw), atau tatharruf dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris-nya mengandung makna extreme, radical, dan excessive. Kata extreme juga bisa berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari ujung ke ujung, berbalik memutar, mengambil tindakan/ jalan yang sebaliknya”. Dalam bahasa Arab, setidaknya ada dua kata yang maknanya sama dengan kata extreme, yaitu al-guluw, dan tasyaddud. Meski kata tasyaddud secara harfiyah tidak disebut dalam al-Qur’an, namun turunannya dapat ditemukan dalam bentuk kata lain, misalnya kata syadid, syidad, dan asyadd. Ketiga kata ini memang sebatas menunjuk kepada kata dasarnya saja, yang berarti keras dan tegas, tidak ada satu pun dari ketiganya yang dapat dipersepsikan sebagai terjemahan dari extreme atau tasyaddud. Dalam konteks beragama, pengertian “berlebihan” ini dapat diterapkan untuk merujuk pada orang yang bersikap ekstrem, serta melebihi batas dan ketentuan syariat agama. (Tim Penyusun Kemenag, Moderasi Beragama, 2019: 17)

Karenanya, moderasi beragama mesti dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama niscaya akan menghindarkan dari sikap ekstrem, berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama.

Diskursus Seputar Makna Moderasi Kehidupan Beragama

Moderasi beragama dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masingmasing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan kemestian.

Seringkali dipahami bahwa gerakan moderasi itu hanya berkutat pada penanganan masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kanan. Padahal sejatinya tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultrakonservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri.

Salah satu contoh yang lagi viral saat ini adalah kasus pandangan keagamaan seorang sarjana Muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah misalnya. Ini adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri. Meski tafsir ini juga didasarkan pada teks al-Qur’an tentang milk al-yamin (hamba sahaya/budak). Namun penerapannya dalam konteks sekarang dianggap oleh sebagian besar tokoh agama sudah terlalu jauh keluar dari maksud teks alias liberal. Karena secara kultural tradisi perbudakan sudah dihilangkan.

Sebaliknya, pandangan keagamaan yang hitam putih dalam memahami teks agama juga seringkali terjebak pada sisi ekstrem lain yang merasa benar sendiri. Dalam konteks beragama, pandangan, sikap, dan perilaku ekstrem seperti ini akan mendorong pemeluknya untuk menolak menerima pandangan orang lain, dan bersikukuh dengan tafsir kebenarannya sendiri. Dari sinilah muncul terma “garis keras”, ekstrem atau ekstremisme, yang dikaitkan dengan praktik beragama yang ultra-konservatif.

Dengan demikian, moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal.

Kekerasan dan sikap ekstremis bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi.

Al-Quran tidak memerintahkan sikap tegas dan keras (ekstremitas) kecuali dalam dua tempat. Berikut ini penjelasan al-Qardhawi dalam bukunya Al-Shahwah.

Di tengah-tengah medan peperangan, ketika berhadapan dengan musuh, yakni di saat siasat militer yang tepat mengharuskan sikap tegas dan keras serta menyisihkan perasaan lunak hingga selesainya peperangan. Dalam hal Allah SWT berfirman;

QS. Al-Taubah: 123:
Hai orang – orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada disekelilingmu, agar mereka mendapatkan kekerasan darimu. Ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.

Dalam melaksanakan sangsi hukum atas orang yang berhak menerimanya. Sesuai dengan firman-Nya;

QS. An-Nur: 2:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Jelas sekali berdasarkan fakta di atas, bahwa tidak sembarangan bersikap ekstrem dan keras kecuali pada hal-hal yang dibenarkan al-Quran. Ekstremitas dalam bahasa al-Quran disebut dengan istilah alghuluw (sikap berlebih-lebihan dalam agama). Dalam bahasa hadis disebut dengan istilah tanatthu’ (berlebih-lebihan dalam agama) serta tashdîd (mempersulit diri). Sikap ini merupakan perbuatan yang sangat dilarang. Karena begitu bahayanya sikap ini, banyak sekali keterangan baik dari al-Quran maupun hadis Rasul SAW yang mengindikasikan larangan dan keharusan menghindari perbuatan tersebut.

Berikut ini beberapa ayat dan hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan terkait dengan persoalan tersebut:

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Al-Nasa’i dan Ibn Majah dalam kedua sunannya, serta al-Hakim dalam Mustadrak-nya, dari Abdullah bin Abbas ra. Bahwasannya Nabi bersabda; “Hindarilah sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orangorang sebelum kamu telah binasa karenanya. Yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu” pada hadis di atas dalam bukunya seperti dijelaskan al-Qardhawi dalam bukunya al-Shahwah bahwa para pemeluk agama terdahulu seperti Ahl al-Kitâb (Yahudi-Nasrani), khususnya kaum Nasrani. (Al-Qardhawi, 2001: 26) Al-Quran pun telah menunjukan celaan terhadap sikap guluw terkait dengan sikap kaum kristiani dalam firman-Nya; “Katakanlah: Hai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas, selain kebenaran dalam agamamu. Dan jangan kamu mengikuti hawa nafsu dari suatu kaum sebelum-mu yang telah sesat dan menyesatkan banyak orang” (QS. Al-Maidah: 77)

Melihat kasus di atas, teringat sebuah peristiwa yang pernah terjadi antara Rasul dan salah seorang sahabatnya Ibn Abbas as. ketika sampai di Muzdalifah dalam haji wada’. Waktu itu Rasulullah saw. menyuruh Ibn Abbas mengambil batu kerikil untuk melempar jumrah di Mina. Kemudian Ibn Abbas as. mengambil batu-batu itu. Dan ketika Ibn Abbas menyerahkannya Rasulallah saw bersabda; Suruhlah mereka mengambil batu kerikil yang kecil saja dan hindarkanlah sikap berlebihan dalam agama. Maksud hadis ini adalah tidak sepatutnya mereka bersikap berlebihan dengan mengatakan bahwa melempar jumrah dengan batu yang besar akan lebih sempurna dari pada melemparnya dengan batu kecil.

Terkait dengan Hadis di atas, Ibn Taimiyah berkata seperti dikutip al-Qardhawi bahwa larangan itu bersifat umum, baik yang berkenaan dengan akidah maupun perbuatan biasa. Kaum Nasrani adalah kaum yang paling banyak berbuat melampuai batas dalam keduanya.

Karenanya, Nabi sangat menentang setiap perbuatan yang berlebihan dalam beragama, dan melarang siapa pun yang bersikap berlebih-lebihan dalam peribadatan sampai keluar dari batas kebenaran yang telah diajarkan Islam. Atas dasar itu pula Islam tidak membenarkan hidup kerahiban yang mengharuskan manusia menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan segala kenikmatan yang baik-baik. Islam mengajarkan hidup seimbang.

Dengan menyebutkan beberapa teks keagamaan di atas, bisa dikatakan bahwa Islam adalah Agama jalan tengah (al-Dîn al-Tawassuthî). Islam adalah agama yang selalu mengajarkan konsep keseimbangan atau jalan tengah dalam segala hal, baik dalam hal konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan sesama manusia maupun dalam perundang - undangan. Sikap tengah (moderat) merupakan salah satu ciri ajaran Islam yang tidak didapati dalam agama-agama sebelumnya (Agama Yahudi dan Nasrani). Allah berfirman;

QS. Al-Baqarah: 143:
Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (tengah - tengah) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia...

Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa umat Islam yang mempunyai ciri moderat dan toleran, akan menjadi saksi atas segenap umat manusia. Sikap moderat dan toleran ini pernah dipraktekkan oleh muslim klasik. Mereka amat terbuka terhadap pemikiran dan budaya lain. Penulis melihat ayat tersebut di atas sangat terkait dengan penanganan terhadap gejala radikalisme saat ini.

Karenanya, tidak berlebihan jika ingin mengurangi sikap radikalisme di negeri Indonesia, semestinya mengambil langkah kongkrit dengan cara merevitalisasi spirit Islam zaman klasik (red: Yang dimaksud dengan Islam zaman klasik di sini adalah era pemikiran rasional yang amat dominan ketika itu. Dimana perbedaan pendapat sangat di hormati, perbedaan budaya tidak menjadi soal, sikap keterbukaan sangat dijunjung tinggi dan ilmu pengetahuan telah mencapai puncaknya. Hal itu berlangsung sekitar tahun 650-1250 M.). Karena model Islam yang seperti inilah yang cocok untuk konteks Indonesia yang heterogen. Tentu saja Islam klasik yang dimaksud di sini tidak dimaknai secara definitif, tapi lebih mengacu kepada sikap dan moralitas Islam yang dianut muslim klasik yang sangat toleran dan moderat dalam menghadapi fenomena keberagaman pemahaman dan keyakinan serta mampu mengakomodasi nilai-nilai klasik.

Pada Islam zaman klasik, perbedaan tidak mesti harus disikapi dengan permusuhan karena hal itu hanya akan menciptakan permusuhan yang baru. Perbedaan harus disikapi dengan cara bijak dan saling menghormati. Prinsip ini bisa diamati dengan jelas dalam warisan intelektualitas Islam klasik yang sangat plural dan beragam pendapat dimana yang satu tak pernah menyalahkan yang lainnya. Implementasi dari cara berpikir yang bernas ini, membuat muslim klasik tidak hanya berpegang pada satu mazhab pemikiran saja, tapi juga mengakomodasi mazhab pemikiran lainnya.

Demikian pula dalam menyikapi fenomena kejahatan (kemaksiatan) baik secara individual maupun sosial. Islam model ini tidak mengedepankan pendekatan emosional dan kekerasan, karena pendekatan tersebut tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas. Kejahatan (kemaksiatan) itu senantiasa ada sepanjang perjalanan sejarah manusia dan ia akan selalu mendapatkan ruang dan salurannya.

Oleh karena itu, kejahatan itu dihancurkan secara bertahap. Sikap yang emosional dan reaksioner dalam menyikapi kemaksiatan hanya akan membuat kemaksiatan itu senantiasa tumbuh dan berkembang. Muslim klasik dalam menyikapi fenomena ini lebih mengedepankan pendekatan kultural dan dakwah individual. Pelaku kriminal tidak harus dimusuhi dan dijauhi, tapi harus didekati secara persuasif untuk selanjutnya diberikan pembinaan moralitas secara intensif sehingga tumbuh kesadaran penuh untuk memperbaiki diri.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah adakah dasar-dasar dan batasan ekstremitas keagamaan (al-Tatharruf al-Dînî). Karena kalau tidak dijelaskan, bisa jadi orang yang benar-benar komitmen terhadap ajaran agamanya, berpegang teguh kepada adat-istiadat yang Islami dalam makan, minum, berpakaian, berhias dan sebagainya sebagai sikap keterlaluan dan ekstrem. Karena ada sebagian orang beranggapan bahwa pemuda yang memelihara janggutnya atau pemudi yang berkerudung sebagai bentuk ekstrim dalam beragama. Dan sebagian orang juga beranggapan terhadap sikap orang yang membela kesucian dan kehormatan agama, amr bin ma’ruf dan nahy ‘an al-munkar (menyeru kebaikan dan melarang berbuat mungkar), juga dianggap sebagai sikap ekstrem dalam beragama. Saya kira jika semua sikap seperti itu dianggap ekstremitas dalam agama, sangat tidak adil. Tidak boleh seseorang dituduh sebagai ekstrem dalam agamanya semata-mata karena ia memilih salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat fikih yang agak keras (ketat) sekalipun, selama ia percaya bahwa itu lebih benar dan lebih baik.

Dalam persoalan ini, cukuplah seorang Muslim menyandarkan pendapatnya kepada salah satu di antara beberapa mazhab, berpegang pada ijtihad (hasil penelitian) yang ditegakkan atas petunjuk dalil-dalil syara’ yang benar. Apabila ada di antara imam-imam mazhab yang diikuti, ada yang menyatakan wajibnya menumbuhkan janggut dan membiarkannnya panjang serta haram mencukurnya; apakah orang yang melaksanakan dan berpegang pada mazhab itu, boleh dicap sebagai ekstrem, semata-mata karena berbeda pendapat dengan aku atau anda, atau pendapat si fulan atau si fulan di kalangan para ulama (terutama mereka yang hidup masa kini)? Apakah termasuk hak kita untuk merampas hak seseorang dalam membenarkan suatu pendapat atas mazhab lain, apalagi dia hanya menerapkan suatu mazhab bagi kehidupan orang lain?. Bukan hak kita, memaksa seseorang agar menjauhkan diri dari pendapat yang dipercayainya atau menuntutnya agar mengikuti cara-cara yang bertentangan dengan keyakinannya. Tapi, seyogyanya yang perlu dilakukan ialah menyeru kepada apa saja yang kita anggap paling benar, dengan penuh bijaksana, dan mengajak berdialog dengan cara yang baik, serta memuaskan setiap orang dengan dalil-dalil yang tepat.

Ref:

  • Al-Qardhawi, Yusuf, Al-Shahwah Al-Islâmiyah Baina Al-Ikhtilâf AlMasyrû’ wa Al-Tafarruq Al-Madzmûm.. Kairo: Dâr Al-Shahwah. 1994.
  • Kementerian Agama RI. Potret Kerukunan Umat Beragama Di Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011.

Post a Comment for "Diskursus Seputar Makna Moderasi Kehidupan Beragama"